peterpan

Kamis, 05 Mei 2011

Ariel Peterpan: Suatu Hari Nanti, Pasti Semua Ini Diingat dengan Tertawa

Jakarta - Nazril Irham mencium pipi dan tangan Nazrul Irphan. Anak dan ayah itu bertatapan sebentar, kemudian saling menyapa dengan penuh kehangatan. Selasa siang, 12 April 2011, sudah lima bulan pria yang lebih populer dengan nama Ariel Peterpan, atau Boril bagi teman-teman akrabnya, ada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kebon Waru, Bandung. Ini adalah percakapan antara Editor Soleh Solihun dengan Ariel, untuk kepentingan penulisan feature Ariel yang mendapat Editor’s Choice Awards sebagai Talk of The Nation.

Agak ragu juga menanyakan kabar kepada orang yang sedang dipenjara, karena sepertinya tak baik-baik saja.
Baik-baik saja. Tapi bener sih baik-baik saja. Sudah lima bulan kan, pasti sudah beradaptasilah. Yang paling susah adaptasi sih soal tidur teratur, tapi lumayan cepat. Kalau di sini pukul enam sore sudah digembok. Baru bisa keluar, pagi. Ya itu saja yang susah, biasa keluar malem. Tapi sekarang jadi malah bagus, pukul sembilan malam tidur, bangun pagi.

Seperti apa suasana sel Anda?
Begitu saja sih ya. Kalau gue sebenarnya paling kecil, jadi jatah buat enam oranglah, sekarang tinggal berlima, karena ada yang keluar. Kasusnya ada yang curanmor, penganiayaan ringan, dan....aduh, gue lupa, jarang bertanya karena nggak sopan.

Apa yang pertama terlintas di kepala waktu pertama masuk?
Wah pasti ramai dan nggak tahu modelnya seperti apa. Ada yang malaikat, kalau tukang bunuh itu istilahnya malaikat karena mencabut nyawa. Tapi dari hari pertama semuanya baik-baik saja, orang-orangnya nggak ada yang aneh-aneh. Respek-lah. Pas pagi-paginya juga begitu. Paling banyak yang dateng, ngajak ngobrol. Nggak seseram itu.

Disambut baik itu apa karena Peterpan disukai?
Mungkin, memang tergantung kitanya. Harus pintar-pintar beradaptasi, kalau pintar bergaul nggak akan masalah.

Waktu pertama kali masuk sel, apa yang terbayang di kepala?
Ingin cepet-cepet keluar lah. Soalnya perpindahan suasana sel. Di Jakarta sedikit, di sana kan kecil, di sini kamarnya gede. Kalau di sana cuma berdua, di sini minimal tuh lima orang. Tinggi juga atapnya. Pertama masuk, bengong saja, nggak ada kerjaan. Akhirnya semua furniture bikin sendiri, lemari juga bikin sendiri. Meja dan rak bukunya.

Sebelumnya sudah pernah membuat seperti itu?
Belum, nggak ada waktu lah kalau di luar sana. Cuma, di sini barang-barangnya lengkap. Mesin-mesin buat memotong, untuk membengkokkan kayu ada. Di sini bagus lah.

Waktu vonis dibacakan, apa yang terbayang di kepala Anda?
Sebenarnya saat dibacakan dari awal, dibacakan teori-teorinya, sudah terbayang, wah ini pasti kena. Jadi kita lihat ini saja, dari awal, bukan OC Kaligis saja, banyak yang bilang, pakar hukum bilang bahwa harusnya ini nggak bisa diapa-apakan. Memang yang harusnya kena ya si penyebarnya. Jadi kami masih lihat apakah hakim akan berpegang pada undang-undang atau membuat hukum sendiri apa yang bisa dia lakukan.

Apa perasaan Anda waktu divonis?
Nggak tahu kan, itu dilema. Gue tahu mana yang benar dan salahnya. Jadi nggak ada perasaan sedih, marah segala macam. Cuma perasaan yah ini mesti dijalankan lebih lama lagi, karena dari awal sudah lihat skemanya. Kok begini kok begitunya, jadi sudah nggak aneh lagi. tinggal disikapinya aja.

Katanya ada kejadian mikrofon mati waktu vonis dibacakan?
Nggak, itu cuma hiburan. [tertawa]. Karena saat dibacakan putusan hakim, wah sudah pasti berat nih, jadi sudah nggak bisa pikir apa-apa lagi. Nggaklah, mikrofon mati cuma kebetulan. Nggak seru. Yang seru itu mengerjai fotografer. Kan ruangannya panas ruangan, kalau bergerak sedikit itu semua bunyi kamera. Gua menghindari berita yang dibuat-buat. Keringat mengucur saja ditahan-tahan. Setiap gerakan itu pasti difoto-foto, nah karena nggak ada kerjaan, sekali-kali gua kerjai.

Anda jadi sebal sama media karena pemberitaan ini?
Sebenarnya nggak sebal sama media, cuma menyayangkan. Kalau menurut gue, media itu harusnya membuat masyarakat lebih pintar dengan membaca media. Nah yang gue lihat sekarang itu nggak ke sana, apalagi media baru yang isinya full gosip. Nggak ada tujuan mencerdaskan bangsa istilahnya, ini orang-orang jadi bego. Ya itulah seperti dibilang [ada video gue] sama laki-laki, sama anak SMA di bawah umur, jadi yang gue lihat orang nggak bisa membedakan mana gosip mana fakta. Itulah yang jadi bikin begonya, yang gosip orang menyangkanya beneran, karena sudah terpatri pada gosip.

Gosip yang paling menyebalkan tentang Ariel Peterpan?
Sudah tahan banting sih gue [tertawa]. Sudah nggak ada yang menyebalkan banget lagi. Dulu ada si bapak polisi yang di Mabes Polri yang kalau ngomong sembarangan. Bilang gua nggak pernah puasa, siang-siang makan pas orang lagi pada puasa. Itu kan orang yang nggak biasa digosipkan bakal bilang, ‘Anjing!’ Ketemu saja nggak pernah, tapi ngomong di media begitu. Kadang-kadang nggak ada gunanya juga, kalau dipikirkan, capek. Kalau ditanggapi terlalu serius, ya capek sendiri.

Pernah menanggapi?
Ada satu kejadian. Saat sidang, gue melewati jendela dengan kosong di sebelah kiri, biasanya ada yang jaga kiri dan kanan. Nah saat itu gue bisa lihat yang demo, tiba-tiba di bawah ada yang mengacungkan jari tengah, saat itu gue spontan membalas. Cuma ada kamera yang meliput, jadi itu salah satu yang disesalkan juga, karena pemberitaannya jadi beda, kan nggak diceritakan di bawah ada yang mengacungkan jari tengah juga. Itu kepancing emosi sebenarnya. Harusnya didiamkan saja.

Yang paling menyebalkan dari semua ini?
Banyak sih sebenernya yang ingin gua omongin, tapi belum sekarang euy saatnya, karena masih proses.

Penjara Anda sekarang dekat dengan rumah, bagaimana rasanya?
Pindah ke Bandung saja sudah seneng, jadi nggak pernah memikirkan makin dekat ke rumah makin kangen. Tapi jadi lebih sering dijenguk. Secara udara juga lebih enak, di Jakarta kan nggak enak gedungnya, di sini sehat. Kalau di Jakarta, karena di dalam gedung, nggak ada matahari, pasang AC, semuanya merokok di dalam. Exhaust saja sebulan sudah kotor. Matahari nggak masuk, kulit jadi sering gatal.. sampai sini kan bisa olahraga, ada futsal segala. Di sana cuma tenis meja, di sini ada gudang kayu. Tidur juga jadi normal, seperti manusia lagi. Biasanya gue tidur pukul 12 siang, bangun sore agak malam, siang tidur lagi. Di sini sehat. Organ-organ tubuh jadi normal lagi. Saat di Jakarta kan sudah seperti mayat. Dan di sini temen-temen SMA jadi bisa sering jenguk. Kalau di Jakarta paling si Luna (Maya), temen-temen musisi kan sibuk. Yang pasti tahananannya juga orang Bandung kebanyakan, dan karena kejahatan mereka juga lugu, seperti 'Saya lapar saya curi kerbau', kalau ngobrol sama mereka jadi lebih santai. Kalau di Jakarta, kadang-kadang berat juga obrolannya, banyak politisi. Sebenernya positif, menambah ilmu, cuma capek. Orang-orang yang berpendidikan ngobrolnya beda. Lebih serius di sana, di sini lebih santai, enak. Yang masuknya kebanyakan ya curi batu, jadi orang-orangnya lebih lugu saja kalau ngomong, enaklah. Cuma nggak ingin lama-lama, seenak-enaknya juga.

Apa hal baru yang Anda temui di penjara?
Alhamdulillah masuk sekarang, sejak tahun berapa, kalau dulu sebelum ada HAM masuk ke LP, banyak kejadian seram, seperti berantem segala macam. Tapi setelah HAM masuk, semuanya jadi normal, dan itu yang nggak banyak orang tahu tentang penjara zaman sekarang, sudah seperti pesantren.

Anak baru diplonco?
Kalau itu masih ada, tapi setelah sudah lama, normal ya kami bercanda lagi. Kalau gue sih ya Alhamdulillah lancar. Di sini ada TV, mereka saja ngomong, “Urang penjahat oge tapi teu rido si Ariel beunang. Maenya nu kitu...” (Gue saja penjahat tapi nggak ridho si Ariel ditahan, masa yang begitu...) Jadi, ada simpati dari mereka. Suka lucu kadang-kadang kalau dengar dia ngomong gitu.

Karakter yang unik yang ditemui di sini?
Yang pasti banyak belajar karakter manusia. Bagaimana ya, nanti bisa merasakan sendiri lah kalau masuk. [tertawa]. Soalnya banyak kalau kita ngobrol...bukan menghibur diri ya...cuma mereka bilang, ada beberapa yang Alhamdulillah juga bisa merasakan masuk penjara. Ada sesuatu yang...ini benar-benar seperti pit stop, mau beres-beres dulu sebentar, refresh untuk memperbaiki segala macam.

Apa yang mendewasakan dari semua ini?
Bersabar [tapi] ditahan [tertawa]. Gila, kalau misalnya nggak kuat-kuat banget, orang bisa stress. Banyak orang begitu kalau di dalam sini, dia bisa konsentrasi sholat, berpikir dan segala macam. Cuma ya pengorbanannya itu saja, kebebebasan. Diuji mental, bagaimana caranya biar kuat. Di dalam sini kan berkecamuk terus, cara menstabilkan diri. Kalau nggak, bisa bunuh diri.

Pernah frustrasi tingkat tinggi?
Nggak, dari awal juga nggak. Soalnya awal juga kan nggak seperti diberitakan, gue datang sendiri, bukan ditangkap.

Kenapa waktu itu mau datang?
Pengacara sih [yang menyarankan], memang waktu itu juga aneh. Kenapa [beritanya bilang] dicari? Kenapa mesti ditahan? Itu yang bikin gue menolak. Akhirnya ya kata nasehat pengacaranya, daripada nanti nggak bagus, mungkin dengan begini lebih bagus. Akhirnya datang, pukul dua pagi, ngobrol sebentar terus masuk.

Sudah tahu bakal ditahan?
Memang sudah tahu.

Butuh keberanian besar untuk mengambil keputusan itu?
Lumayan, itu pun yang sudah dikuat-kuatkan, kata orang di sana, itu pun masih kelihatan pucat banget [tertawa]. Waktu sampai di sana, lagi ramai, ada kasus 303, perjudian. Mereka lagi berkumpul. Gue sudah siap-siap, tas segala macam, 'Tenang, tenang.' Saat masuk ada perasaan asing, cuma setelah berapa hari netral lagi. Pasti semua orang pas masuk ke sana merasa agak mengambang, antara nyata dan nggak nyata.

Waktu hari pertama masuk, apa yang paling ditakutkan?
Nggak ada sih sebenarnya, cuma bagaimana cara biar nggak bosen saja. Soalnya tahu nih pasti bosen banget. Karena gue kan hidup di jalan berapa tahun, selalu tur, atau sebelum ini juga orang nggak tahu, pas nonton konser /rif gue pernah tidur di taman kota, nggak masalah dengan itu. Gue nggak terlahir sebagai orang yang biasa dimanja, untuk masalah beradaptasi nggak terlalu susah, cuma ya itu tadi, pasti bosan.

Skala satu sampai sepuluh, berapa tingkat rasa bosannya?
Bisa sampai sepuluh. Cuma ya itu pintar-pintarnya kita. Nah itu mental dilatih. Dan kebanyakan orang bisa kok.

Penjara membuat Anda jadi orang yang lebih baik?
Bisa, ya merasa sih sebenarnya. Bukan secara moral, baik secara disiplin, banyak deh kalau dipikir-pikir. Cuma ya amit-amit sih, jangan sampai lama di sini. Gue selalu mensyukuri, jadi nggak akan ada... Gue tulis di tembok itu, ‘Kesusahan macam apa yang bisa membunuh hati yang selalu berbahagia?’ Jadi ya itulah. Dalam kondisi apapun, kalau kita selalu berbahagia, ya berbahagia.

Itu lirik lagu baru?
Bukan [tertawa]. Gue lebih senang ditulis di buku.

Kenapa tak mau menyanyikan soal itu?
Belum kepikiran, karena selama di sini nggak timbul mood untuk bikin lagu, lebih ke hal-hal yang nyata, lebih cepat, seperti membuat lemari. Jadi, singkatlah waktunya, nggak terasa.

Ini cobaan terberat dalam hidup Anda?
Mudah-mudahan iya, mudah-mudahan nggak ada yang lebih berat lagi [tertawa].

Melihat ke depan, apa yang ingin Anda katakan untuk diri sendiri?
Wah, terlalu banyak kalau gue bicarakan, yang pasti pintar-pintar mengingat saja, karena penyakit nomor satu kan cuma lupa. Kalau melakukan yang salah, berarti lupa yang benarnya. Jadi selalu ingat-ingat saja.

Dari kejadian ini, apa yang ingin diingat?
Agak rumit. Kejadiannya gue inget bener. Masalah berhadapan sama hukum dan segala macam, banyak hal.

Sepuluh tahun lagi bagaimana Anda ingin mengingat semua ini?
Suatu hari nanti, pasti semua ini diingat dengan tertawa. Suatu hari, setiap masalah itu pasti jadi bahan tertawaan buat yang mengenangnya. Sepuluh tahun lagi gue pasti ketawa-ketawa mengingatnya, soalnya yang dulu juga begitu, menertawakan kebodohan, menertawakan kelucuan.

Lagu Peterpan yang paling cocok untuk keadaan Anda sekarang?
Nggak ada. Nggak kepikiran soalnya, nggak kepikiran situasi yang seperti ini soalnya. Belum ada sebenarnya yang bisa mewakili [momen] ini, mungkin nanti. Bukan judul lagu ya [

0 komentar: